Sampah Kota Jadi Pupuk Organik

Melimpahnya sampah organik hampir di sebagian besar kota/kabupaten di Indonesia, sehingga merupakan sebuah peluang bisnis yang menjanjikan untuk diolah menjadi pupuk organik, sekaligus mendukung pengembangan pertanian organik untuk menghasilkan bahan pangan ramah lingkungan.

Meskipun peluang yang menjanjikan itu sudah dilirik banyak orang, bahkan digarap, hanya sebagian kecil pengusaha atau bupati/walikota secara serius menggarapnya menjadi suatu sistem produksi pupuk organik yang tertata secara baik dengan manajemen yang sempurna.

Mengolah sampah organik harus dilakukan oleh orang-orang atau pekerja yang  berani kotor, bau dan kerja keras, tutur Direktur Utama PT Songgolangit Persada, Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana yang juga pakar dan pelopor pertanian organik Indonesia.

Bagi mereka yang serius bekerja dan fokus mengolah sampah menjadi pupuk tentu berhasil memproduksi dan memasarkan pupuk organik.

Caranya bagaimana agar berhasil? Pengolahan pupuk organik bisa dilakukan di lahan dekat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) atau di dalam area TPA. Untuk masalah lahan bisa dilakukan bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten/ Kota dengan sistim kontrak, bagi hasil atau hibah.

Pasokan limbah organik berasal dari TPA. Limbah organik dicacah menjadi ukuran kecil-kecil (2-3 cm) dengan mesin pencacah, selanjutnya di semprot dengan Effective Microorganisms (EM4) (10%), molase (10%) dan air, ditimbun menggunung setinggi 2-3 meter.

Untuk pengolahan limbah organik dalam skala kecil, tumpukan cacahan limbah disesuaikan. Tumpukan tersebut dibalik setelah dua minggu, dengan menggunakan cangkul atau alat penggaruk bermesin, kemudian disiram lagi dengan EM, molase dan air, selanjutnya ditimbun. Dua  minggu kemudian pupuk organik bisa dipanen dan dipasarkan.

Guna  mendapatkan pupuk organik yang lebih halus, pupuk organik itu bisa dicacah halus dengan mesin pencacah (crasher). Pupuk organik dijual seharga Rp1.000  per Kg, dengan keuntungan 25% (dengan asumsi biaya limbah organik gratis dari TPA). Produksi pupuk organik yang optimal adalah 10 ton per hari, dengan mengolah sampah organik 50 ton (10 truk) per hari, maka diperoleh keuntungan sebesar Rp2,5 juta per hari, atau Rp 75 juta per bulan.

Keuntungan yang cukup lumayan besar itu sangat seimbang dengan kerja keras untuk pengolah sampah organik. Dan ingat, hanya mereka yang serius mengolahnya bisa membuahkan hasil.

EM Untuk Misi Lingkungan

Sementara Staf Ahli PT Songgolangit Persada, Ir. I Gusti Ketut Riksa menjelaskan, Prof. Dr. Teruo Higa, guru besar bidang hortikultura University Of The Ryukyus Okinawa, Jepang berhasil menemukan teknologi EM tahun 1980 melalui hasil penelitian selama 12 tahun berujung pada misi besar untuk melestarikan lingkungan.

EM adalah teknologi yang mudah, murah, hemat energi, ramah lingkungan dan berkelanjutan telah diterapkan oleh ratusan negara di belahan dunia, termasuk Indonesia.

PT SLP yang didirikan oleh Dr. Ir. Gede Ngurah Wididana, M.Agr adalah satu-satunya di Indonesia mendapat lisensindari Effective Microorganisms Research Organization (EMRO) Jepang untuk memproduksi dan memasarkan pupuk hayati EM4 pertanian, EM4 peternakan, EM4 perikanan dan EM4 lingkungan ke seluruh daerah di Nusantara.

Prof. Teruo Higa meneliti kelompok bakteri yang berguna dengan tujuan untuk memelihara dan mengembangkan agar mampu hidup bersaing dan menang melawan kelompok yang merugikan.

Bakteri itu mampu membuat nutrisi atau zat-zat bioaktif yang diperlukan oleh semua makluk hidup. Untuk itu pria kelahiran 15 Mei 1942 di Okinawa, Jepang memilih mikroba berdasarkan dampaknya terhadap kesehatan manusia dan kesehatan lahan pertanian.

Kelompok pertama yang berguna sekaligus sebagai sahabat manusia, kelompok ini dikumpulkan Prof Higa yang berasal dari lima kelompok, sepuluh genus dan jumlahnya sekitar 80 spesies dalam sebuah  formula yang disebut EM.

Kelima kelompok tersebut meliputi bakteri asam laktat, actinomycetes, fotosintetik, ragi dan cendawan fermentasi. Kelompok kedua berupa mikroba merugikan yang lebih dikenal dengan sebutan pathogen dan kelompok ketiga berupa mikroba yang bersifat netral.

Dari ketiga kelompok bakteri tersebut Prof Higa menitikberatkan perhatian penelitian pada kelompok pertama. Mikroba yang berguna bekerja berdasarkan proses fermentasi dengan hasil  de-ion seperti glukosa, ahkohol, ester, asam amino, asam nukleat, hormon, enzim dan anioksi.

Sebaliknya mikroba yang merugikan sebagai bakteri pembusuk yang dinamakan ion seperti natrium (Na), kalium (K), magnesium, cloor (CI), ferum (Fe(, zilkum (Zn) dan cuprum (Cu).

Gusti Riksa menjelaskan, dalam teori mikro nutrisi, selain menyerap ion, tanaman juga dapat menyerap de-ion, artinya tanaman yang menyerap de-ion akan lebih sehat dan kebal dibandingkan dengan tanaman yang hanya sebatas menyerap ion.

Inti kekuatan EM terletak pada bakteri fotosintetik, bakteri yang lebih dikenal sebagai bakteri yang abadi tahan hidup pada suhu di atas 1000 derajat celsiun, ujar Gusti Ketut Riksa yang juga instruktur EM pada Institut Pengembangan Sumber Daya Alam (IPSA) Bali di Desa Bengkel, Busungbiu, Kabupaten Buleleng.

Peran EM Mud-Ball

Selama ini dalam satu wilayah kecamatan, kabupaten/kota ditemukan banyak selokan, tempat pembuangan air limbah yang kotor sehingga  menimbulkan bau busuk.

Kondisi demikian tidak sedap dipandang mata, bahkan bisa menjadi sumber penyakit, yang bisa ditularkan oleh nyamuk. Untuk itu solusi penanggulangannya yang sangat efektif, dengan menggunakan Effective EM mud-ball.

EM mud-ball adalah bola-bola tanah liat yang telah difermentasi dengan formula EM. Besarnya hanya sebesar bola tenis. Bola-bola inilah yang dilempar-lemparkan ke selokan air yang kotor  secara beramai ramai dilakukan pada hari-hari tertentu seperti dalam meriahkan hari ulang tahun kota seperti yang telah dilakukan oleh Jepang dan sejumlah negara lainnya, tutur Gusti Ketut Riksa.

Itulah cara mereka sebagai suatu ciri kepedulian terhadap lingkungan, sehingga lingkungan dapat terpelihara dengan baik, setiap air yang mengalir mulai dari saluran pembuangan limbah (got) dan air yang mengalir di sungai menjadi jernih dan bersih.

Banyaknya bola tanah liat tergantung pada luas daerah yang menjadi target pembersihan. Jarak antar mud-boll setidaknya setiap setengah meter, dilakukan pada musim kemarau agar tidak mudah tergerus banjir.

Atraksi melempar-lempar bola tanah liat ini tentu harus ada yang memeloporinya. Mud-ball ini dapat dibeli dari anak anak SD atau anak-anak tuna netra yang telah dilatih untuk membuatnya. Pelatihnya bisa didapatkan dari pelopor EM yakni PT Songgolngit Persada di Denpasar, atau siapa saja yang telah mengenal Teknologi EM

Cara membuat mud-ball sangat mudah, pertama-tama buatlah adonan tanah liat layaknya seperti akan membuat genteng. Adonan semakin kental semakin baik, orang Bali menyebutnya “nadi”  agar bertahan lebih lama dalam air dan tidak mudah buyar.

Mengadonnya bisa langsung mengunakan cairan EM, selanjutnya difermentasi selama tiga  hari, sudah langsung dapat diaplikasikan di selokan yang airnya kotor. Dapat juga dibuat dengan cara kedua yakni bola-bala tanah liat langsung dapat dilubangi dengan jari, seperti membuat jajan onde-onde, lubang yang terbentuk lalu diisi dengan pupuk Bokasi Kotaku selanjutnya lubang ditutup kembali.

Hanya dalam waktu fermentasi tiga hari EM mud-ball sudah dapat diaplikasikan ke lapangan. Kegiatan ini diharapkan bisa dilakukan di Bali dan berbagai daerah lainnya di Indonesia untuk  menghilangkan bau yang tidak sedap, endapan lumpur busuk berangsur-angsur menipis dan ahirnya menghilang.

Lalat, nyamuk dan serangga lainnya secara dramatis  berkurang, air comberan menjadi bersih, mikro plangton, burayak ikan, ikan yang lebih besar serta burung-burung pemakan ikan berdatangan, lingkungan terevitalisasi. Jika semua itu dilakukan secara berlanjut kunang-kunang dan capung yang selama ini punah akan dapat muncul kembali, tutur Gusti Ketut Riksa.(Penulis :Ketut Sutika)  linktr.ee/pakolescom

Komentar